Sunday 2 December 2012

Kita Bersama Karena Menang

Beberapa hari yang lalu saya sedang galau akut. Maka saya pun mengontak Angga untuk ngobrol, dan hari Sabtu ini kami janjian untuk bertemu.
Sebenarnya saya hanya ingin menceritakan sebuah masalah pribadi ke Angga, walaupun malam ini saya sudah tidak terlalu peduli dengan masalah itu. Toh bercerita nggak akan jadi obat, pikir saya. Tapi seperti biasa, ngobrol dengan Angga selalu jadi waktu untuk bertukar pikiran, dan itu adalah obat untuk masalah lain yang tidak saya sangka akan saya temukan malam ini. Pada akhirnya kami ngobrol ngalor-ngidul, dan kami menemukan inti masalah yang saat ini sedang sama-sama kami hadapi.

Beberapa bulan belakangan ini saya merasa hampa. Ada yang hilang. Kosong. begitu juga Angga.
Setahun ini saya sedang gencar-gencarnya ikut berbagai kompetisi kreatif. Entah iklan, video, foto, apapun. Dan belum lama ini saya mengikuti tiga kompetisi nasional yang sangat-sangat ingin saya menangkan sejak setahun yang lalu. Sudah tahun terakhir, harus menang sebelum lulus, harus bisa seperti teman-teman saya yang sudah pernah tembus. Begitu pikir saya.
Dan nyatanya tidak ada satupun entry saya yang tembus.
Dalam hati saya merasa sedih. Bukan karena saya gagal mendapatkan award yang bergengsi ataupun hadiah yang besar. Lebih karena saya ingin seperti teman-teman dekat saya yang semuanya pernah memenangkan lomba ini. Saya mulai berpikir bahwa saya tidak cukup berbakat. Kemampuan saya tidak berkembang. Ada perasaan tidak puas yang muncul di hati saya. A void, that is.


Saya menceritakan keresahan saya kepada Angga. Dan Angga pun bercerita tentang nasehat senior saya, Awe, yang diberikan kepada dirinya.
"Sekitar sebulan yang lalu saya mendapat sebuah balasan twit yang cukup nyentil dari kakak kelas saya 'Awe' Ardi Wilda. Saat itu ceritanya saya sedang semangat gembar-gembor untuk membantu adek-adek Deadline untuk menang di kompetisi kreatif Pinasthika. Banyak yang saya lakukan mulai dari nulis status semangat dan motivasi di FB, sedikit ikut sharing-sharing, sampai khusus nulis di blog. Saya sangat ingin adek-adek kelas kami ini bisa ikut merasakan kemenangan seperti yang bisa saya raih dulu. Di tengah semangat saya itu si Awe ini ngetwit khusus untuk saya yang intinya "Kesuksesan di matamu belum tentu sama kayak kesuksesan yang orang lain pengen. Jangan dipaksain orang lain buat ngikut kamu. Jangan-jangan kamu ini post-power syndrom karena bukan masamu lagi...? "." -tulisan dari blog Angga


Selain itu, Angga juga bercerita tentang beberapa junior yang ingin mundur dari dunia iklan karena belum pernah atau lebih sering gagal memenangkan award. Mereka merasa tidak berbakat.

Benarkah tiga award yang saya kejar ini bukanlah sukses yang semu belaka?

Saya selalu percaya bahwa sukses itu selalu dimulai dari passion yang kuat dan keinginan untuk produktif. Begitu pula Angga. Itu juga merupakan salah satu ajaran dari bapak saya yang saya tidak pernah lupa. Makanya saya rajin mengajak junior-junior saya untuk tidak bermalas-malasan. Harus rajin berkarya. Senior-senior saya yang hebat dulu juga menjadi sumber inspirasi saya untuk selalu produktif dan punya passion yang kuat. Dan pada satu titik, saya dan teman-teman saya menemukan bahwa lomba dan award merupakan doping yang sangat kuat untuk menjadi produktif. Dan doping itu pula yang kami berikan kepada junior-junior kami, dengan harapan mereka bisa lebih bersemangat untuk berkarya.
But we went too far. We overstepped the boundaries.
Seperti semua obat lainnya, saat dipakai berlebihan obat tersebut hanya akan menjadi racun.
Hal inilah yang kami berdua sadari malam ini.
Award memang doping yang bermanfaat. Namun ia sangat adiktif. Dan efek negatifnya baru kami berdua sadari sekarang.
Kami sibuk mengejar capaian-capaian berupa piala yang berkilauan dengan warna emas, sampai kami berubah begitu jauh dibandingkan saat kami berada di titik awal dulu.

Kami lupa bahwa dulu, we did everything what we like, no matter what.
Kami melakukan itu atas dasar kebersamaan dan keinginan untuk bertindak bodoh. Kami suka melakukannya dan jika kami pada akhirnya senang, itu sudah cukup. Sekarang, rasa suka kami telah digulung habis oleh obsesi untuk mengangkat piala emas diatas panggung. Kami hanya berpikir award, award, award! Apapun yang tidak sesuai dengan selera juri kompetisi, berarti salah. Apapun yang tidak out of the box, salah. Hal inilah yang menghentikan kami untuk berkembang. Padahal stagnansi adalah musuh kreatifitas.

Award telah mengubah teman menjadi rival.
Saya memberi selamat tanpa keikhlasan, tidak seperti dulu saat menang-kalah bukanlah hal yang penting. Yang terpikirkan dalam kepala saya adalah keinginan untuk menjadi sama hebatnya dengan si pemenang award. Ini bukan lagi tentang bekerja sama dan saling mengisi kekurangan. Ini adalah ajang untuk unjuk gigi kemampuan masing-masing individu.

Award mengubah hubungan pertemanan saya menjadi hubungan antar kolega. Pertemanan menjadi dasar perhitungan untuk kemenangan. Tidak punya skill? Tidak perlu dimasukkan dalam tim karena akan menghambat kemenangan. Hubungan pertemanan hanya diikat seutas benang rapuh bernama "menang kompetisi".

Award tanpa disadari menciptakan jarak dengan teman-teman saya yang tidak pernah mengikuti kompetisi. Saya selalu enggan menceritakan pencapaian saya, selalu tidak lebih dari beberapa patah kata karena saya tahu selalu ada orang yang lebih hebat. Namun itu tidak menghentikan teman sepermainan menjadi minder karena merasa tidak sehebat saya. Kenalan-kenalan yang lain memandang diri saya sangat tinggi. Semua itu menciptakan jarak, sebuah hal yang sama sekali tidak pernah saya harapkan untuk terjadi.

Saya merasa menjadi serigala penyendiri. Berpindah dari satu kelompok ke kelompok yang lain, namun pada akhirnya selalu keluar karena ada jarak dalam kelompok tersebut, entah mengapa. Saya akhirnya harus selalu bertarung sendirian.

Dan malam ini, setelah bertahun-tahun, untuk pertama kalinya saya menangis. Oke, not literally karena hormon kelaki-lakian saya menahan diri atau mungkin kantong air mata saya yang sudah kering, jadi pol-polannya mata saya cuma berkaca-kaca. 

Saya menyadari saya hampir kehilangan banyak hal yang penting.

Rasa cinta saya pada dunia kreatif yang tidak dibatasi apapun.
Tawa saat melakukan hal bodoh tanpa peduli apa-apa.
Kebersamaan.
Hal ini juga yang menurut saya dan Angga telah hilang dari komunitas-komunitas kreatif di kampus kami. PPC, Kine, DeADline.

Award telah membutakan saya sedemikian rupa. Dan saya sebagai senior telah menarik junior saya untuk ikut menapaki jalan yang sama dengan saya.
Saya terlalu sibuk mengajarkan tentang pentingnya pencapaian, bukannya proses.
Award tidak akan datang saat dikejar. Ia akan datang saat kita menikmati proses mencapainya.
Memenangkan award bukanlah tujuan akhir. Ia hanyalah sebuah nilai tambah. Pemanis untuk kebersamaan kita. Apa artinya segudang award kalau pada akhirnya kita tidak punya teman untuk tertawa atau bersandar?

Dan malam ini saya bersyukur karena semua ini belum terlambat.

2 comments:

  1. keren bgt tulisannya , njleb persis yang dialami ak dan tmn2 :D

    ReplyDelete
  2. award itu bukan tujuan cah, award itu salah satu jalan mencapai tujuan. tapi, aku terharu baca tulisanmu cah..(oke iki homo tenan) :p

    ReplyDelete